Bukan tulisan penting
" Maaf ya, Maaf yaa kalo kamu harus mendengar ucapan yg nyakitin, kalo kamu harus mendengar ucapan yang bikin kamu ngga nyaman. Maaf yaa "
Kata ku pada diva. Matanya yang semula hanya penuh berembun, sekarang deras dihujani air mata.
Sebuah Cerpen.
Beberapa saat yang lalu. Diva yang memiliki hajat kecil dan merupakan pendatang tidak memiliki gayung dan ember. Dua gedung kamar mandi dengan air sangat terbatas yang dipisahkan gang setapak dan akses jalan yang harus melewati dapur membuat diva sedikit panik. Bolak balik memastikan kesediaan air dan alat Mck nya. Berpindah beberapa kali dari satu gedung wc ke gedung lain. Melihat air, keluar lagi mencari gayung, kembali lagi akan mengumpulkan air yang ternyata naasnya sudah tidak mengalir. Akhirnya diva kembali ke gedung lain setelah 3 kali bolak-balik. Tanpa angin tanpa hujan, dari arah seberang, teras dapur tepatnya, seseorang meminta nya untuk menyalakan lampu. Selain tidak mengerti lampu mana yang dimaksud, diva juga tidak mengerti dimana letak saklar lampu tersebut. Beberapa kali berusaha menekan saklar yang ternyata tidak satupun lampu menyala, akhirnya seorang tadi berkata 'cukup'. Selang beberapa lama diva masuk kedalam gedung Wc, terdengar seseorang berteriak mencerca "ngerti tepes ? Tebar Pesona".
Diva yang tidak merasa sedang mencari perhatian atau menebar pesona, merasa sedih. Seperti sesak yang tidak bisa diungkap. Mencoba membesarkan hati, aku berkata 'tebar pesona ? Aku memang mempesona. Kenapa, tidak terima ?'
Nyatanya usaha itu tidak melegakan sesak di dada diva. Rasanya seperti tertampar. Perih.
Merasa ingin segera pulang dari sana, diva masih berusaha menerjemahkan perasaannya. Matanya sempat mengembun saat sholat maghrib. Ia sedih. Sampai akhirnya ditengah pembacaan maulid, dia memilih memvalidasi perlahan perasaannya. Rasa sedihnya. Air mata perlahan menetes tanpa mengurangi rasa sesak di dada. Aku yang cukup geram dengan sedih yang diva rasakan bertanya dg lantang ; 'kamu mau apa ? Hm ? Maaf ?' Diva hanya terdiam menunggu. Aku menghela nafas panjang, meringankan beban sejenak. Dengan nada lembut aku berkata 'maaf yaa, aku minta maaf. Maaf kamu harus mendengar perkataan menyakitkan itu. Maaf kalo kamu merasa tidak nyaman mendengarnya. Maaf yaa'
Belum usai kalimat panjang itu terdengar, gemuruh di dada diva terdengar semakin kuat, nafasnya tidak beraturan, pundaknya mulai tampak mengguncang, air mata sukses menetes deras selama beberapa saat. Aku memberinya waktu untuk memproses kesedihan tadi. Nyatanya tidak ada yang bertanggung jawab penuh atas perasaanku kecuali diriku sendiri.
Setelah beberapa saat, kulihat gemuruh itu pergi. Langitnya kembali membiru meski tanpa awan.
Pov : percakapanku dan diva sepanjang sore sampai malam tadi 😅
Komentar
Posting Komentar